Tampilkan postingan dengan label Reflections. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Reflections. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 13 September 2025

Cermin

Aku bangun pagi dengan kepala yang rasanya seperti dipalu. Alarm gawai meraung di samping bantal dan terasa menusuk telinga. Tanganku sigap menekan layar dengan kasar. Sunyi akhirnya terdengar kembali. Tapi bukan sunyi yang menenangkan. Sunyi ini terasa dingin dan menekan seperti dinding kamar kos kecil yang kini turut menatapku tanpa belas kasihan.

Kamar ini sempit, hanya cukup untuk kasur tipis, meja kecil, dan lemari plastik yang sudah retak di pinggir. Bau lembap bercampur bau baju kotor yang menumpuk di sudut. Dari ventilasi sempit terdengar suara motor dan teriakan pedagang sayur. Dinding tipis membuat aku bisa mendengar batuk orang di kamar sebelah. Tidak ada yang benar benar sunyi di kos ini, tapi justru kesunyian dalam kepalaku lebih bising dari apa pun.

Aku duduk di tepi kasur. Punggung pegal dan bahuku terasa kaku. Aku menarik napas panjang, tapi terasa dangkal dan tidak pernah sampai penuh ke paru paru. Kaki menyentuh lantai keramik yang dingin serta agak lengket. Aku merasa jijik tapi tidak punya tenaga untuk membersihkan.

Aku menyeret langkah ke kamar mandi kecil di pojok kamar. Pintu tipis dari triplek berderit keras. Ruangan ini hanya muat untuk satu orang berdiri. Bau sabun basi bercampur bau handuk lembap yang sudah lama tidak kering sempurna. Aku menyalakan keran. Bulir airnya mengalir deras dengan suara keras  yangmemantul di ruang sempit.

Aku membasuh wajah. Dingin, menusuk, tapi tidak memberi rasa segar sedikitpun. Aku ulangi berkali kali seolah bisa mencuci lelah yang menempel di kepala. Tapi tidak kunjung berhasil. Yang ada malah kulitku menjadi basah dan mataku tetap berat.

Aku menggosok wajah keras keras sampai pipi perih. Tetesan air jatuh dari dagu ke wastafel kecil. Aku mengambil sikat gigi. Aku meludah dan berkumur. Air kotor berputar sebentar lalu tersedot paksa ke lubang pembuangan. Bunyi pipa tua terdengar serak seperti tenggorokan orang sakit. Aku pun melirik lantai. Ada noda hitam di pojok kamar ini. Sudah berbulan bulan ia ada di sana tapi tidak pernah hilang meski aku gosok. Noda itu seolah lebih menetap daripada aku sendiri di sini.

Aku pun menyisir rambut. Sisir tersangkut di helai yang kusut. Tarikannya terasa menyakitkan. Rambut rontok pun menempel di tanganku. Ku jatuhkan ke lantai helaian rambut rontok itu. Biarlah berserakan dimana mana. Toh, tiap sudut yang ada juga sudah berantakan adanya. 

Aku pun menatap cermin.
Ku lihat ada sosok manusia yang sama persis dengan diriku.
Sosok itu menatapkiu balik.

Mata sayu dengan lingkar hitam yang makin menebal. Kulitnya terlihat pucat. Bibir pecah pecah. Rambutnya yang tipis terlihat basah dan rontok. Aku pun tersenyum kecil. Sosok itu mengikuti. Aku mengernyit. Ia mengernyit. Gerakannya selalu tepat, tanpa cacat. Ah, kesempurnaan itu membuatku muak.

Aku mendekat. Mataku terlihat merah dengan urat urat kecil yang terlihat jelas. Aku melihat pori pori, garis halus, dan noda di pipi. Semua detail yang seharusnya meyakinkan bahwa ini benar adalah aku. Tapi tidak ada rasa akrab sedikitpun. Semakin lama menatap, semakin asing rasanya. Tanganku menyentuh kaca. Permukaannya dingin, licin. Jari jariku gemetar. Aku menekan lebih keras. Pantulan itu juga menekan. Seolah olah ia ingin menembus ke arahku.

Aku berbisik, “Siapa kamu?”

Suaraku serak. Pantulan bibir ikut bergerak. Rasanya seperti ia menjawab: siapa aku?

Nafasku mulai pendek. Dada terasa penuh dan tercekik. Aku mencoba menarik udara lebih dalam tapi tidak bisa. Aku merasa tubuhku sendiri sedang melawan. Aku mengusap wajah dengan tangan. Kulitku terasa seperti lapisan tipis yang tidak menyatu. Aku membayangkan menariknya dan mengupasnya. Tapi kalau itu hilang, lalu apa yang tersisa? Pikiran itu membuat perutku menjadi mual.

Aku menatap lagi. Sekejap pandanganku menjadi kabur. Terlihat bayangan berganda dengan dua wajah menumpuk dan tidak pas. Aku berkedip cepat lalu dua wajah itu terlihat menyatu kembali. Tapi rasa ngeri tidak kunjung pergi. Seolah olah diriku memang bukan satu orang saja.

Aku meremas tepi wastafel kecil. Tanganku licin dan hampir terpeleset. Lututku gemetar seakan tidak kuat lagi menopang. Keringat dingin keluar melalui pelipis dan menetes ke dagu. Bau tubuhku sendiri menyengat: asin, lembap, dan bercampur sabun basi. Bau itu menusuk dan membuatku semakin ingin muntah.

Aku mendekat lagi. Nafasku mengembun di kaca. Wajah terlihat di balik embun samar. Saat samar, aku merasa lebih nyaman. Saat jelas, aku merasa ingin lari. Aku menahan mata terbuka. Aku ingin tahu siapa yang lebih dulu akan mengedip. Aku atau dia. Mataku panas dan berair. Aku membuka mulut, ingin berteriak tapi tidak ada suara. 

Yang tersisa hanya beberapa pertanyaan yang bersarang di kepala:
Kalau semua ini adalah tidak nyata, lalu siapa aku sebenarnya?
Kalau semua ini adalah topeng, siapa wajah yang bersemayam di bawahnya?
Kalau pantulan ini pecah, apa yang akan tersisa?

Tapi tetap tidak ada jawaban.

Aku masih berdiri di kamar mandi kos yang sempit, bau, dan pengap. Waktu dan kehidupan yang ada di luar terus berjalan. Tapi di sini, aku merasa stuck dan tidak bisa kemana mana.

Sosok di cermin menatap balik.

Aku tidak tahu siapa dia.

Aku tidak tahu siapa aku.

Share:

Minggu, 07 September 2025

Memaknai Life Loop: Aku Kira Aku Sudah Selesai, Ternyata Aku Hanya Mengulangi Pola Yang Sama

"Kok jadi dejavu ya?"

"Rasanya seperti aku sudah pernah mengalami masalah serupa. Tapi kenapa sekarang terulang lagi?"

Rasanya dejavu. Seperti pernah ada di keadaan ini sebelumnya. Masalah yang aku hadapi sama, trigger yang aku temui sama, hanya dengan wajah, cerita, dan waktu yang berbeda. Aku pikir dengan aku pergi jauh dan merantau, sudah cukup untuk membuatku selesai dengan semua yang pernah terjadi di masa lalu. Aku pikir dengan mengubah nama panggilanku, aku sudah bisa membuka lembaran baru. Tapi ternyata, aku hanya mengulangi pola kejadian yang sama seperti sebelumnya. Apakah ini yang disebut life loop? Sebuah lingkaran tidak kasat mata yang selalu menarik diriku untuk kembali pada pelajaran hidup yang belum selesai.

***

Aku sering merasa hidupku seperti kaset yang diputar ulang karena selalu mengulang pola kejadian yang sama. Beda dari latar kejadian dan tokoh, tetapi konflik dan trigger yang aku hadapi sama. Jujur saja, ada rasa marah pada diri sendiri ketika life loop ini kerap terjadi. 

“Bukankah aku sudah belajar?"

"Bukankah aku sudah berjanji tidak akan jatuh pada lubang yang sama?” 

Tapi ternyata aku malah kembali lagi ke lingkaran yang sama, berhadapan dengan situasi yang serupa, membuat kesalahan yang sama, dan menelan kecewa yang sama. Ah, ingin rasanya ku caci maki diri ini yang bodoh karena kerap mengulangi pola yang salah. Aku pikir aku sudah banyak belajar, sudah melepaskan beban masa lalu, dan sudah berdamai dengan semua itu. 

Nyatanya belum sama sekali. Aku belum bisa menerima semuanya bahkan masih membawa semua beban itu di pundakku

Ibarat berjalan di atas treadmill, aku hanya jalan di tempat. Aku kira aku sudah berjalan jauh, ternyata aku hanya ada di lingkaran yang sama. Aku tidak pernah benar benar bergerak maju. Awalnya, aku pikir dengan mengikuti kelas, belajar, dan konseling ke psikolog, sudah cukup untuk membuatku pulih dan berdamai. Tapi ternyata semua usaha itu tidak cukup.

Selama ini aku ternyata hanya sibuk mencari jalan untuk menghindari rasa sakit yang belum sepenuhnya kupahami. Dalam proses ini, aku sadar bahwa diriku sendiri yang menipu: merasa sudah pulih hanya karena “sudah melakukan sesuatu.”

Sama seperti yang ditunjukkan dari penelitian K.M. Bell (2025) tentang trigger warning, kadang kita merasa siap menghadapi sesuatu secara teori, mengikuti kelas, membaca buku tentang self healing, penerimaan diri, dan pemulihan trauma, tapi saat situasi nyata datang, respons emosional itu tetap muncul. Selama luka batin belum selesai diproses, kita cenderung menjadi lebih reaktif. Trigger itu, apa pun bentuknya, bisa memicu rasa sakit atau kecemasan yang selama ini kita sembunyikan. Dan itu wajar karena respons emosi yang keluar bukanlah pertanda kegagalan, melainkan sinyal bahwa ada yang belum tuntas di dalam diri kita.

Konseling ke psikolog itu memang penting dan menurutku itu adalah keharusan. Tapi itu belum cukup kalau kita sendiri belum siap membuka luka lama dan unfinished business yang selama ini kita sembunyikan. Psikolog bukan penyihir yang bisa langsung menyembuhkan, mereka hanya teman yang punya kapabilitas untuk membimbing kita melihat, merasakan, dan memahami apa yang selama ini kita hindari. Proses pemulihan itu tetap di tangan kita sendiri. Kita yang memegang kendali untuk berani menghadapi rasa sakit, mengakui perasaan, dan perlahan menyelesaikan apa saja yang belum tuntas.

Aku sadar bahwa aku tidak bergerak ke mana mana. Aku hanya berjalan di tempat sambil membawa beban yang sama, luka yang sama, dan cerita lama yang tidak pernah benar benar aku coba untuk akhiri.

Lalu, muncul pertanyaan dalam benakku. Mengapa pola ini tidak berhenti dan malah terus berulang?

Pola yang berulang sebenarnya bukanlah suatu kebetulan. Pola ini kembali terjadi bukan karena dunia yang terlalu jahat atau kejam. Juga bukan karena aku yang tidak cukup baik. Pola ini kembali terjadi karena ada bagian dalam diriku yang belum selesai diproses, entah itu berupa perasaan, luka lama, atau trauma masa lalu. Tumpukan dari unfinished business di masa lalu yang mulai meronta dan meminta untuk segera diselesaikan. Luka luka lama yang belum sempat pulih dan hanya bisa aku bungkus dengan kata kata indah tentang penerimaan. Luka yang aku pikir sudah mengering dan hilang, ternyata hanya bersembunyi di balik dinding pertahanan yang tinggi.

Dan ketika Tuhan kembali menguji, ternyata aku kembali masuk ke dalam lingkaran yang sama. Lebih tepatnya masuk ke dalam lingkaran setan. Menghadapi masalah dan trigger yang serupa dengan orang berbeda. Rasanya seperti Tuhan berkata kepadaku,

“Kamu belum lulus ujian dalam ujian ini. Jadi kamu harus mengulanginya sampai kamu benar benar paham dan belajar."

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Julian Frazier, PhD, peristiwa ini dikenal sebagai repetition compulsion, di mana kita sebagai individu secara tidak sadar akan mengulangi pengalaman traumatis masa lalu sebagai bentuk upaya untuk menguasai atau memahami kenapa hal itu bisa terjadi, meskipun mungkin berakibat merugikan. Frazier menjelaskan bahwa pikiran kita cenderung mengkategorikan pengalaman buruk sebagai masalah dan pikiran kita tidak suka memiliki masalah yang belum terselesaikan.  Pola berulang ini muncul karena pikiran kita ingin menyelesaikan masalah yang belum selesai. Namun, tanpa kita sadari kita seringkali menciptakan situasi yang mirip dengan trauma masa lalu dan berharap kali ini hasilnya akan berbeda. Padahal, tanpa adanya pemahaman dan pemrosesan yang tepat, kita justru terjebak dalam lingkaran tersebut.

Seperti sekolah yang menuntut remedial saat gagal ujian, demikian juga hidup. Life loop adalah bentuk remedial dalam kehidupan. Life loop adalah panggilan untuk diri agar segera melakukan refleksi. Selama aku belum selesai dengan diri sendiri, pola kejadian itu akan tetap berulang dengan wajah lain, cerita lain, namun rasa sakit dan pola trigger yang sama. Satu satunya jalan keluar dari lingkaran ini adalah berani. Berani menghadapi, berani memahami emosi, dan berani mengakui reaksi reaksi yang muncul sampai unfinished business dan semua luka itu sudah selesai diproses.

Selama aku belum selesai dengan diriku sendiri, pola kejadian itu akan terus kembali. Dengan wajah berbeda, dengan cerita yang sedikit berubah, tapi rasa sakitnya tetap sama. Aku harus berani menghadapinya, memahami apa perasaan yang keluar, dan serta reaksi dari perasaan itu, baru aku bisa benar benar keluar dari lingkaran setan itu.

Sekarang aku sadar kalau pertanyaannya bukan lagi tentang kenapa hal ini bisa terjadi kembali. Melainkan tentang Tuhan ingin aku belajar apa dari semua kejadian berulang ini?

***

Daalam satu sesi konseling, ada pertanyaan dari psikolog yang sampai sekarang masih terngiang di kepalaku,

“Oh, jadi kamu tidak merasa nyaman ya? Boleh ceritakan ke aku bagaimana kamu memaknai rasa tidak nyaman itu? Bagaimana kamu menggambarkan rasa tidak nyaman itu?”

Aku terdiam sejenak dan mencoba menjawab.

“Aku juga bingung, kak. Aku belum siap untuk ngobrol lebih dalam tentang hal ini.”

Pertanyaan itu terus bergema di kepalaku. Aku mulai sadar bahwa rasa tidak nyaman yang selalu kusembunyikan bukan sekadar gangguan kecil. Melainkan sebuah sinyal alam bawah sadar yang menginformasikan bahwa ada bagian dalam diriku yang belum selesai kupahami dan belum berani kuhadapi.

Perlahan aku belajar bahwa pulih adalah soal keberanian. Keberanian untuk menghadapi luka lama yang aku simpan rapat, mengakui rasa sakit yang selalu aku tutupi, dan merasakan hal hal yang selama ini aku hindari. 

Kuncinya hanya satu: hadapi, bukan lari.

Sulit, tapi aku percaya kamu bisa.

Share:

Sabtu, 30 Agustus 2025

Apa Masih Ada Masa Depan untuk Kita?

Mendengar berita tentang kebijakan pemerintah akhir akhir ini membuatku muak. Bukan cuma aku, tapi hampir semua masyarakat di negeri ini turut merasakannya. Bukan semata mata karena isinya yang merugikan rakyat, tapi juga karena kesan bahwa suara kita tidak sepenting itu di mata pemerintah. Bukannya mendengar dan memberikan solusi, mereka malah melakukan banyak hal dan melahirkan kebijakan yang nirempati. Hingga akhirnya peristiwa demonstrasi tidak dapat dihindari. 

Adanya aksi demonstrasi ini membuat hatiku berdesir. Bukan aksi demonstrasinya yang aku khawatirkan, melainkan respon pemerintah yang ZONK. Alih alih mendengarkan, mereka memilih untuk bungkam dan lari. Alih alih introspeksi, mereka justru melawan. Marah, kecewa, sedih, takut, bingung… semuanya bercampur menjadi satu. Di tengah situasi yang genting ini, rasanya agak sulit membayangkan adanya harapan akan masa depan yang layak.

Aku bisa memahami akan terjadinya rentetan peristiwa demonstrasi seperti yang sudah berlangsung di Jakarta, Bandung, dan kota kota lain. Bagaimana tidak, di tengah tantangan ekonomi yang sedang sulit, pemerintah dan DPR terlihat seperti tidak berempati dengan situasi dan kondisi yang sedang terjadi. Mereka malah membuat banyak kebijakan yang hanya menguntungkan mereka secara pribadi. Seperti menaikkan tunjangan dan penghasilan DPR dengan seenaknya. Tunjangan perumahan baru sebesar 50 juta yang bernilai sepuluh kali lipat dari upah minimum DKI Jakarta, tunjangan membeli beras hingga 12 juta, serta tunjangan tunjangan lain dengan nilai fantastis.

Gaji pemerintah dan anggota DPR yang nilainya sangat fantastis dan mencerminkan kesenjangan sosial yang tinggi itu bersumber dari pajak rakyat. Ironisnya, di saat mereka hidup dengan segala fasilitas dan tunjangan fantastis, kita sebagai rakyat harus memutar otak hanya demi bertahan hidup sampai besok hari. Lebih menyakitkan lagi, dengan penghasilan sebesar itu masih sedikit sekali dampak nyata yang benar benar dirasakan oleh masyarakat negeri ini. 

Harga kebutuhan pokok terus melambung tinggi, lapangan kerja kian menyempit, sementara kebijakan yang lahir seolah tidak memihak pada buruh dan rakyat kecil. Bagaimana mungkin kita diminta bertahan hidup dengan kondisi seperti sekarang ini sedangkan para pemangku jabatan hidup dengan fasilitas yang serba mewah dan bersumber dari uang pajak yang kita setor setiap bulan? Aku sendiri tidak heran dengan berita kenaikan ini karena sebenarnya salah satu janji kampanye adalah menaikkan penghasilan para pejabat, bukan? Ironis...

Belum lagi cibiran dan perkataan yang nirempati keluar dari mulut mereka. Kata kata kasar seperti “tolol” terdengar dari orang yang seharusnya beradab dan berpendidikan. Seperti tidak pernah diajarkan bagaimana cara berkomunikasi di depan publik. 

Melihat mahasiswa, buruh, bahkan pelajar untuk menuntut keadilan, hatiku campur aduk antara frustrasi, bingung, sedih, dan takut. Namun, apa responnya? Bukan dialog, bukan solusi, tapi TINDAKAN REPRESIF. Gas air mata yang seharusnya digunakan untuk situasi darurat kini menjadi jawaban rutin atas suara masyarakat. Gas air mata yang disemprotkan oleh aparat bersebaran dimana mana bahkan sampai mengenai masyarakat sipil yang sedang mencari nafkah dan tidak terlibat demonstrasi. Sampai kapan suara rakyat dianggap angin lalu? Sampai kapan keselamatan dan martabat manusia dikorbankan demi menjaga citra penguasa?

Tragedi Alm. Affan Kurniawan adalah bukti bahwa nyawa rakyat seringkali dianggap tidak lebih berharga daripada gengsi kekuasaan. Ironisnya, mereka yang berseragam seharusnya melindungi bukan malah melukai. Tapi di negeri ini siapa yang masih percaya bahwa aparat dan pemerintah benar benar ada untuk rakyat?

Ironisnya lagi, ketika masyarakat turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi dan menjalankan hak demokrasi, para pemangku kekuasaan malah memilih bersembunyi di balik layar laptop dengan kebijakan Work From Home, seakan akan tuntutan rakyat hanyalah bising semata dan bukan hal penting yang harus mereka dengar serta beri solusi. Mereka mengatakan negeri ini adalah negeri yang demokratis, tapi pada kenyataannya mereka takut ketika masyarakat benar benar menggunakan hak demokrasinya. 

Mereka kerap berkoar tentang transparansi dan keterbukaan. Tapi setiap kebijakan yang mereka buat, selalu lahir di ruang tertutup yang tidak bisa dijangkau masyarakat. Mereka bicara tentang pengorbanan padahal tidak pernah merasakan satu hari pun harus hidup dengan gaji UMR atau bahkan di bawah UMR! Mereka sibuk menyiapkan strategi komunikasi bukan solusi. Mereka pandai memainkan kata kata tapi gagap saat dituntut untuk mendengarkan dan ditanya tindakan nyatanya.

Berulang kali, setiap ada masa saksi, pemerintah seakan akan mengadu domba antara masyarakat sipil dan pihak aparat. Lalu ketika terjadi insiden yang tidak diinginkan, mereka dengan mudahnya berlindung di balik kata maaf dan merasa tidak bersalah sama sekali! Perkataan maaf yang keluar bukan karena mereka murni mengaku bersalah, melainkan karena formalitas belaka demi menjaga citra serta kursi kekuasaan. 

Belum lagi adanya provokator dan 'segelintir manusia' yang hadir dan seakan akan bertindak sebagai pelaku demonstrasi. Membakar fasilitas umum hanya di malam hari dan berbuat anarkis. Hei, kenapa tidak kau lakukan di siang hari? Apakah kau takut identitasmu sebagai provokator terbongkar? Dengan membakar fasilitas umum, bisa dijadikan narasi oleh pemerintah untuk mengecap bahwa pelaku demostran bertindak anarkis, bukan? Sebuah alibi yang manis. Kau dibayar berapa untuk melakukan hal ini?

Tapi..

Dibalik semua rentetan kejadian ini, aku juga memikirkan banyak hal tentang masa depan. Di usia dua puluh enam ini, masih banyak hal yang ingin aku pelajari, masih haus akan pengalaman, dan masih punya banyak mimpi yang ingin dikejar. Perjalanan karirku masih panjang. Aku masih ingin belajar banyak tentang dunia marketing dan data. Aku masih ingin belajar dan punya keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Tapi di tengah kondisi seperti sekarang ini, rasanya bertahan hidup saja sudah menjadi pencapaian terbaik. Fokus awal yang ingin mengejar banyak mimpi, perlahan berubah menjadi fokus untuk sekadar bertahan hidup.

Apakah mimpi mimpi itu masih relevan? Apakah kita benar benar punya kesempatan untuk mewujudkannya ketika situasi negara seperti ini? Atau justru kita harus menyesuaikan diri dengan realita, mengurangi mimpi, dan hanya fokus pada hal hal yang bisa dikendalikan?

Aku jadi teringat dengan kata kata dari atasanku. Beliau berkata, "Tidak semua krisis itu membawa dampak negatif, beberapa diantaranya bisa membawa kita ke ide ide baru yang bisa memberi dampak positif."

Aku mencoba untuk tetap optimis seperti yang beliau katakan. Aku berusaha percaya bahwa kondisi yang sulit ini bisa melahirkan ide ide baru dan peluang yang mungkin tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Tapi jujur saja, tidak semua orang punya privilege untuk sekadar 'berinovasi'. Banyak dari kita yang hanya fokus mencari cara agar besok masih bisa makan agar bisa membayar kebutuhan pokok. Rasanya sulit memikirkan mimpi besar ketika realita tidak seindah laporan statistik pemerintah. Kondisi negara yang tidak stabil membuat banyak dari kita, khususnya aku sendiir, mulai menurunkan banyak ekspektasi. Bukan karena tidak mampu, tapi karena realita yang memaksa begitu.

Sebagai rakyat, aku merasa tidak mendapatkan jaminan rasa aman dari negara. Bagaimana kami bisa berpikir kreatif di tengah krisis ketika kebutuhan dasar saja makin sulit terpenuhi? Rasanya seperti berjuang sendiri sementara mereka yang punya kekuasaan sibuk dengan kepentingan pribadi. 

Bukan berarti ingin dimanja atau selalu diberi bantuan ya. Justru sebaliknya, aku tidak setuju dengan pola pemerintah yang selalu mengandalkan bantuan sebagai solusi, seperti bansos misalnya. Bukannya memperkuat fondasi survival skill dan membangun sistem yang berkelanjutan, mereka memilih jalan pintas yang hanya menyelesaikan masalah untuk sesaat. Bantuan itu mungkin meringankan tapi kan tidak memberdayakan dan memiliki efek jangka panjang. Aku yakin kita semua sangat membutuhkan kebijakan yang membuat kita sebagai rakyat merasa lebih kuat dan aman, bukan malah jadinya ketergantungan.

Aku sering membayangkan bagaimana rasanya hidup di negara yang benar benar berpihak pada masyarakatnya? Mungkin kami bisa fokus berkarya, belajar, dan meraih mimpi tanpa harus cemas apakah besok harga kebutuhan pokok melonjak lagi atau apakah gajiku cukup untuk sekadar membayar kos dan juga makan. Namun pada realitanya, aku merasa harus selalu memasang mode survival. Tidak ada kepastian dan juga jaminan. Sejujurnya, aku mulai lelah melihat berita yang hanya berbicara soal angka pertumbuhan ekonomi sementara faktanya, banyak masyarakat bahkan aku sendiri masih berkutat dengan realita yang pahit: kesenjangan sosial yang makin tinggi.

Jika negara seharusnya hadir untuk melindungi dan menyejahterakan rakyatnya, maka di mana mereka saat ini? Mungkinkah mereka BUTA dan TULI sebab memilih untuk tidak melihat dan juga mendengarkan?


PS.

Untuk rekan rekan yang terlibat aksi demonstrasi, semoga Tuhan senantiasa melindungi. Jaga barisan jangan sampai ada provokator yang menyusup dan membuat ricuh. Fokus kepada tuntutan awal dan jangan sampai terpecah belah, apalagi termakan isu SARA. Yang harus dilawan adalah pemerintah yang keji, bukan sesama kita sebagai masyarakat. Semoga Tuhan selalu melindungi. Semoga tidak ada aksi yang ditunggangi oleh kepentingan elite politik. 

Share:

Sabtu, 03 Mei 2025

Saat Kita Merasa Sudah Tau Segalanya, Saat Itulah Kita Berhenti Belajar

Di tahun tahun sebelumnya, aku pernah ada di posisi merasa cukup.

Cukup pintar.

Cukup tau segalanya.

Cukup paham arah hidup.

Cukup dengan kehidupan yang sudah aku jalani.

Hidup terasa cukup damai karena tidak ada drama seperti tahun tahun sebelumnya. Semuanya terasa aman, nyaman, dan stabil. Aku merasa semuanya akan berjalan dengan baik baik saja.

Aku bekerja. Aku berdaya. Aku bisa menghidupi diriku sendiri. Aku bisa bertemu dengan banyak orang baru. Aku bisa punya hobi baru. Aku bisa melakukan banyak hal. Aku bisa jalan kesana kemari tanpa harus ada yang mengekang ataupun mengomentari diriku. Tentu, ini pemikiran yang sangat sombong.

Tanpa aku sadari, perlahan aku sudah berubah menjadi manusia yang berhenti untuk membuka diri.

Perlahan, aku berhenti untuk mendengarkan orang orang di sekitarku dengan hati dan rasa empati. Aku merasa mereka tidak cukup tau daripada aku. Aku merasa sudah lebih dulu tau daripada mereka.

Perlahan, aku juga berhenti mempertanyakan tentang keputusan orang lain dan juga keputusan yang aku buat untuk diriku sendiri. Aku lebih memilih untuk diam, bahkan saat aku tau itu bukan hal yang seharusnya aku lakukan. Aku tau ada yang salah, tapi aku terlalu enggan untuk mengatakannya.

Aku berhenti untuk peduli dengan banyak hal.

Aku berubah menjadi apatis dengan berbagai hal di sekitarku. Aku terlalu malas untuk ikut campur dengan hal hal yang bukan menjadi urusanku. Walau sebenarnya aku melakukan semua itu bukan tanpa alasan. Aku hanya tidak ingin terlibat dengan banyak konflik yang memusingkan. Aku sudah terlanjur nyaman dengan rasa stabil yang saat itu aku rasakan. Aku sudah di fase lelah untuk belajar lagi. Aku hanya ingin menikmati apa yang ada di dalam hidupku.

Tapi, hidup itu lucu.

Hidup selalu punya cara untuk menyadarkan kita sebagai manusia. Bukan dari kegagalan besar, melainkan dari momen momen kecil yang menampar kita. Sakit, tapi tidak berdarah, namun cukup menyadarkan manusia sombong ini.

Seperti saat aku sedang mencoba untuk menyampaikan suatu ide, tapi malah tidak ada yang mengerti karena pesan yang ku bawa tidak clear. Lucunya, kala itu aku merasa aku paling tau dan paham, tapi aku gagal menyampaikan dengan utuh dan mendengarkan sekelilingku dengan empati.

Atau momen ketika aku lagi diajak cerita tentang hal baru, tapi reaksiku cuma setengah hati. Bukannya penasaran atau nanya balik, aku malah sibuk menghakimi dalam hati, ohh cuma ini, aku udah pernah denger ini, ini bukan informasi baru buat aku. Padahal, aku belum tentu benar benar paham dengan hal itu. Atau mungkin, aku belum pernah mencobanya sama sekali. Tapi, saat itu aku sudah merasa paling tau segalanya.

Dari situ aku sadar kenapa semua terasa mandek, datar, hampa, atau bahkan stagnan. Ternyata, secara tidak langsung aku berhenti untuk bertumbuh karena aku merasa sudah cukup tau segalanya.

Dan itu menakutkan.

Bukan karena kita malas belajar, tapi karena kita merasa sudah tidak perlu lagi belajar. Padahal, hidup terus bergerak dan dunia senantiasa mengalami perubahan.

Dan kalau kita tidak belajar, kita hanya akan jadi versi lama dari diri kita yang mungkin sudah tidak lagi relevan di masa sekarang.

Kalau aku tidak memaksakan diri untuk terus belajar, besar kemungkinan aku akan banyak mengalami ketertinggalan. Bukan hanya dari orang lain, tapi dari versi diriku yang seharusnya bisa menjadi lebih baik dari saat ini.

Satu hal yang aku sadari adalah aku justru baru benar benar merasa belajar ketika aku mulai mengakui ketidaktauanku akan suatu hal. Walau terkadang, ego kita sebagai manusia seringkali susah diajak untuk berkompromi dan menolak ketidaktauan.

Mengakui ketidaktauan itu kerap kali terasa memalukan. Tapi mungkin, justru itulah titik baliknya. Saat kita sudah merasa tau segalanya, saat itulah kita akan berhenti belajar.

Pelan pelan, aku mau belajar untuk kembali membuka diri dan belajar banyak hal lagi.

Aku mau pelan pelan belajar untuk membuka ruang.

Aku mau pelan pelan belajar untuk tidak buru buru merasa paling tau segalanya.

Aku mau pelan pelan belajar mendengarkan dengan hati yang sepenuhnya hadir dan memberi ruang untuk hal hal baru yang akan masuk.

Aku mau belajar menjadi orang yang banyak mendengarkan lagi.

Aku mau jadi orang yang bisa jujur mengatakan, “Aku belum tau, tapi aku mau tau dan mau belajar.” atau “Aku emang belum yakin, tapi aku mau belajar supaya bisa jadi yakin dengan diriku dan juga hasilnya.”

Aku ingin belajar ,menjadi versi diriku yang tidak takut melakukan kesalahan walau konsekuensinya mungkin aku akan dihakimi, dimaki, atau bahkan tidak disukai.

Aku ingin belajar menjadi versi diriku yang tetap memiliki rasa penasaran dengan banyak hal di dunia, tanpa takut dicap bodoh karena memiliki ragam pertanyaan.

Aku ingin jadi versi diriku yang tidak kehilangan semangat untuk terus bertumbuh dan berproses, meski hanya dari hal hal kecil yang sederhana. Mungkin tidak terlihat wah di mata orang lain, tapi memiliki arti penting untuk kehidupanku di masa mendatang.

Aku ingin selalu belajar. Belajar untuk tidak cepat merasa puas. Belajar untuk selalu jadi yang terbaik dari diriku di hari kemarin. Belajar untuk terus berproses walaupun tidak ada apresiasi dari sana sini. Aku ingin belajar untuk menjadi versi diriku yang paling terbaik, bukan untuk orang lain, melainkan untuk diriku sendiri.

Tentu saja semua ini butuh proses dan pastinya tidak akan bisa instan serta butuh waktu yang tidak sebentar.

Pada akhirnya, aku menyadari kalau ternyata menjadi manusia itu bukan tentang yang paling tau banyak hal, tapi tentang yang tidak pernah berhenti mencari tau walau ia sudah tau dan belajar banyak hal.

Share:

Jumat, 02 Juli 2021

Sedih Senang Secukupnya

beberapa hari ini, sedih datang menghampiri
seakan tidak memberi celah bagi senang untuk singgah barang sejenak.
⁣⁣⁣
beberapa hari ini, wajahnya dipaksa untuk ceria,⁣⁣⁣
seakan tidak memperdulikan apa yang sesungguhnya dirasa.⁣⁣⁣
⁣⁣⁣
beberapa hari ini, dia kembali mencoba menerka,⁣⁣⁣
tentang apa yang sesungguhnya sedang terjadi.⁣⁣⁣
⁣⁣⁣
ia tau dan menyadari,⁣⁣⁣
bahwa masalah yang ia hadapi,⁣⁣⁣
tak sebanding dengan semua nikmat yang ia dapatkan.⁣⁣⁣
⁣⁣⁣
ia tau,⁣⁣⁣
mengeluh tidak akan mengubah keadaan,⁣⁣⁣
dan salah satu solusinya adalah tetap melangkah ke depan,⁣⁣⁣
melakukan yang terbaik,⁣⁣⁣
semampu yang ia bisa lakukan,⁣⁣⁣
⁣⁣⁣
merasa sedih senang secukupnya.⁣⁣⁣
mengucap syukur tanpa henti,⁣⁣⁣
dan berhenti untuk bertanya,
"Kenapa Allah selalu mengujiku?"

Share:

Sabtu, 30 Januari 2021

Jatuh

 Jatuh?

Tidak apa apa.

Semua orang pernah terjatuh.

Yang membedakan hanyalah waktu serta cara mereka agar

dapat bangkit kembali.


Jatuh?

Tidak apa apa.

Layaknya bunyi hukum newton kedua bahwa F = m.a

Kalau kamu terjatuh itu menandakan bahwa kamu sedang

bergerak alias tidak melembam.


Jatuh?

Tidak apa apa.

Asalkan tidak terjatuh ke lubang yang sama.


Jatuh?

Sekali lagi, tidak apa apa.

Dengan terjatuh, maka kau dapat mengenal luka.

Lalu, setelahnya kau akan belajar bagaimana cara menata luka

seapik mungkin hingga rasa perih itu tak mampu untuk

berkecamuk kembali.


Jatuh?

Ayo bangkit kembali!

Share:

Minggu, 25 Oktober 2020

Ku Tunggu Kehadiranmu

Seandainya keharmonisan itu bisa dibeli

Aku ingin membelinya satu paket bersama ketentraman.

Namun itu tak mungkin terjadi.

Karena aku tak pernah menemukan suatu keadaan dimana uang

dapat ditukar dengan hal semacam itu.


Tapi mengapa kebanyakan orang dewasa selalu menjadikan

materi sebagai tolok ukur kebahagiaan?


Mengapa?

Apakah mereka lupa, bahwa kebahagiaan itu sejatinya datang

dari rasa syukur serta hati yang ikhlas, bukan dari hati yang

selalu dihiasi dengan prasangka buruk.


Aku hanya tak benar benar menyangka, bahwa dari uang bisa

menimbulkan pertengkaran hebat.

Dari uang bisa menimbulkan rasa permusuhan, tak pandang

apakah dia teman atau bahkan keluarga sendiri.


Tak ada gunanya aku mermahtkan perihal uang,

Aku belum cukup dewasa untuk mengerti masalah ini.

Aku hanya merindukan sesuatu yang telah lama pergi dari sini.

Ya, aku rindu akan keharmonisan dan sebuah rasa tentram.

Telah lama aku tak berjumpa padanya, kemanakah gerangan

engkau?


Apakah keharmonisan hanya sekedar teori di fisika?

Apakah keharmonisan itu hanyalah bayangan semu?


Teman-temanku, mereka bilang bahwa aku beruntung.

Mereka bilang bahwa aku bahagia.

Ku bilang bahwa mereka semua salah.

Mereka tidak mengenal aku.

Ibarat permen, mereka hanya tau aku dari kulitnya saja dan tak

tau apa yang ada di dalamnya.


Aku bingung.

Aku lelah.

Stress kian sering berkunjung.

Ingin rasanya ku berteriak.


Tapi aku percaya, Tuhan pasti akan selalu bersama hamba-

hambanya yang bersabar.

Atas izin-Nya, aku akan bersabar menantimu, wahai

keharmonisan.

Ku harap kau segera datang kesini, dan jangan lupa untuk

mengajak 'rasa tentram' singgah.


Ku tunggu kehadiranmu.

Share:

Kamis, 06 Agustus 2020

Cinta yang Haq

Wahai Dzat yang jiwaku berada di genggaman-Nya...
Apakah hamba yg hina ini memang pantas merasa cinta?

Sebab cinta hamba baru berbentuk doa.
Yang berharap sesegera mungkin berbuah nyata.
Tidak seperti mereka, para pecinta-Mu yang senantiasa mencintai-Mu dengan segenap jiwa raga.
Para pencinta-Mu yang senantiasa merintih rindu ketika mendengar nama kekasih-Mu digaungkan.
Para pencinta-Mu yang senantiasa menangis sendu ketika mendengar kalam-Mu diserukan.

Sedang hamba,
Hanya seorang yang hina,
Kerap kali tergoda dengan fananya dunia,
Mengaku cinta,
Namun acapkali melakukan dosa.

Mereka datang pada-Mu membawa cinta.
Sedang hamba datang pada-Mu membawa dosa.

Iman hamba lemah,
Maka kuatkan hamba, Ya Rabb.
Sebab hamba hanya seorang budak di hadapan-Mu.
Seorang hamba yang lemah dan juga hina.
Yang hanya bisa berharap belas kasih ampunan dan juga limpahan rahmat dari-Mu.
Share:

Kamis, 10 Agustus 2017

Kecewa? Perbaiki Niatmu.



Hari ini, entah kenapa terbesit ungkapan mengenai kekecewaan di dalam benakku.

Entahlah, aku tak terlalu paham akan perihal ini.
Semua terjadi di luar kendalaku.

Hmm..
Aku rasa, setiap insan pasti pernah merasakan kecewa. 
Kecewa, karena realitas yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang telah di ekspetasikan.
Kecewa, karena terlalu banyak menaruh harapan pada manusia yang bahkan tidak bisa menjamin semua ekspetasi itu akan terwujud.
Kecewa, karena memang dari awal tidak diniatkan karena Allah.

Ahh, apa kau sadar teman?
Kita seringkali menaruh harapan pada manusia, menggantungkan angan pada mereka, tetapi kita acapkali lupa bahwa kita memiliki DIA yang mampu mengabulkan semua angan dan cita kita.
mengapa kita tidak menaruh harapan pada-Nya? 
mengapa kita tidak merayu DIA untuk mengabulkan semua permohonan kita?
mengapa kita tidak meminta agar DIA menguatkan hati ini dikala apa yang kita harapkan tidak bisa direalisasikan sebagaimana mestinya?

Kita terlalu sibuk berharap pada ciptaan-Nya.
Kita terlalu sibuk memikirkan angan tapi acapkali lalai memikirkan tugas kehambaan kita pada-Nya.
Kita...
Kita terlalu sibuk berbuat untuk manusia tapi lupa bahwa apa apa yang ada di dunia ini terjadi karena DIA.

Klise, tapi banyak insan yang mengabaikan perihal ini.
menuduh-Nya, mengatakan bahwa DIA tidak adil.
Ah, bagaimana dia mau mengabulkan permohonanmu jika apa yang kamu perbuat saja bukan semata mata karena dia.

Ah, teman.
Jika kau kecewa, coba perbaiki niatmu.
Periksa, apakah benar yang kau lakukan ikhlas semata mata mengharap ridho-Nya?
Ikhlas semata mata demi kebermanfaatan bersama?



"mari mengintropeksi diri masing masing. :)"
Share:

Minggu, 25 Juni 2017

Adalah Sahabat

Sahabat.

Adalah mereka yang selalu mempunyai cara untuk memaafkan

tanpa harus ada yang kata maaf.


Sahabat.

Adalah mereka yang tetap bersedia datang padamu ketika dunia

menjauhimu.


Sahabat.

Adalah mereka yang pernah pergi tapi tak pernah lupa untuk

kembali.


Sahabat.

Adalah mereka yang tak pernah lelah mengingatkan kita pada hal

hal yang berujung pada kebaikan. 

Share:

Jumat, 16 September 2016

Apa yang Sedang Kau Inginkan?

 Hasil gambar untuk danbo galau


Apa yang sedang kau inginkan?
Harta?
Uang yang berlimpah?
Teman yang banyak?
Jabatan yang tinggi?

hmmm..

Jika aku boleh meminta, aku ingin Tuhan mengirimkanku satu orang saja, yang dapat menjadi tempat untukku mengadu, berkeluh kesah, dan tentu saja yang dapat membuat gelak tawa itu kembali lagi hadir disini.

Bukan aku tak mau bercerita kepada mereka, teman-teman  dekatku.
Hanya saja, aku merasa cerita ini terlalu rumit untuk ku ceritakan.
Aku tak tau bagaimana caranya untuk menyampaikannya pada mereka.

Terkadang juga, tujuan orang-orang bercerita karena ingin di dengarkan, bukan untuk dicaci maki atau bahkan dihakimi.

Tapi tak mengapa, aku masih bisa mengadu dalam sujudku.
Dan bukankah sudah seharusnya seperti itu?
Bukankah hanya kepada Allah sahaja sebaik-baiknya tempat mengadu dan berkeluh kesah?
Jika manusia bisa meninggalkanku, maka Allah tidak akan pernah meninggalkanku.
Jika manusia tak bisa mendengarkanku, maka Allah yang Maha Mendengar, akan mendengar segala keluh kesahku bahkan sebelum aku bermunajat kepada-Nya.

Iyya kana'budu wa iyya kanasta'in.
"Hanya Allah yang kami sembah dan hanya kepada Allah lah kami meminta pertolongan."

 

Hanya Allah sahaja, sebaik-baiknya tempatku untuk mengadu dan berkeluh kesah. 

Share:

Jumat, 15 Juli 2016

Allah Sebaik-Baiknya Pembuat Rencana




Teman,

Ketika hasil yang kau dapatkan tak sebanding dengan jerih payahmu selama ini, bersabarlah.
Kuatkan hatimu, dan janganlah sampai engkau berprasangka buruk pada-Nya.
Karena DIA adalah sebaik-baiknya pembuat rencana.

Teman,
Memang menyakitkan ketika mengetahui bahwa hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan ekspetasi.
Menyedihkan, ketika kita telah mengorbankan waktu, tenaga, serta pikiran hanya untuk mendapatkan hasil yang terbaik tetapi nyatanya tidak sesuai dengan harapan, bahkan realitanya sekalipun. Sangat meleset dari perkiraan.

Tak apa.
Kau tau?
Kadang, kita seharusnya bersyukur diberi kesempatan gagal oleh-Nya. 
Karena, dari kegagalan kita banyak belajar tentang nilai-nilai kehidupan yang tak pernah diajarkan ketika kita duduk dibangku sekolah maupun perguruan tinggi.

Kita belajar, bagaimana mengikhlaskan sesuatu.
Kita belajar, bagaimana cara menghargai waktu agar tidak lagi terbuang sia-sia.
Kita belajar, bagaimana agar semangat di dalam jiwa tetap kokoh meski gagal telah menghampiri.
Kita belajar, bagaimana caranya bersyukur.. bersyukur bahwa kita masih diberi kesempatan gagal oleh-Nya.

Teman.
Pun aku pernah berada di posisimu.
Sungguh, itu sangat menyakitkan. 
Bahkan aku sempat berprasangka buruk pada-Nya.
Menganggap bahwa Dia tak adil padaku,
Menganggap bahwa Dia tak sayang padaku,
Menanggap bahwa Dia berlaku kejam padaku.
Ah. 
Betapa dangkalnya pemikiranku pada saat itu.

Sungguh, padahal Dia adalah Dzat yang Maha Berkuasa.
Menjadikanku nomor satu? Itu hanya hal kecil bagi-Nya.
Namun, mengapa Dia tak menjadikan aku menjadi yang terbaik? 

Karena, jika aku dijadikannya yang terbaik, bisa saja aku bersikap pongah dan bangga terhadap diri sendiri.
Padahal sungguh, semua kemampuan yang kumiliki ini adalah dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya jua.
Bahkan, bisa saja aku bersikap acuh dan kembali lalai pada-Nya.
Astaghfirullah..

Dia memang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.
Kau ingat ayat ini?

Qs. Al-Baqarah : 216

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui”

Satu pelajaran lagi yang dapat ku petik,
Bahwa Dia akan memberikan apa yang kamu butuhkan, bukan apa yang kamu inginkan.

Teman.
Ku harap, esok tak ada lagi tangis di pipi merahmu.
Tak ada lagi kesedihan menodai wajahmu.
Percayalah, bahwa akan ada rencana indah dari-Nya setelah ini.
Percayalah, bahwa Dia adalah sebaik-baiknya pembuat rencana. :)




Palembang, 15 Juli 2016.
Ditengah dingin yang menusuk qolbu.

Ttd.
Teman seperjuangan
Share:

Sabtu, 12 Desember 2015

Antara Usaha dan Percaya

Hari ini,aku medapat pemahaman baru mengenai "usaha" dan "rasa yakin/percaya"


Bahwa,apa yang ku lakukan selama ini telah menyimpang dari hakikat yang sebenarnya.
Apa yang ku yakini ternyata hanyalah sebuah ekspetasi belaka,dan berbanding terbalik dengan realita.



Aku terlalu yakin semuanya bisa ku lewati dengan baik-baik saja. 
Meski ada hambatan,aku tetap bisa melewatinya.
Aku terlalu yakin bahwa usaha yang telah ku lakukan sejauh ini sudah cukup baik.
Aku terlalu yakin bahwa mereka akan menolongku, nanti
Aku terlalu yakin bahwa Allah SWT akan membantuku nanti..
Parahnya lagi, aku juga terlalu yakin dengan kemampuanku sendiri...

Aku berasumsi bahwa akulah yang terbaik...
Aku terlalu meremehkan orang lain, menganggap bahwa aku yang lebih pantas diposisi itu, menganggap bahwa usahaku lebih jauh besar dari usaha orang lain, menganggap remeh kemampuan orang lain.
ah betapa bodohnya aku disaat itu!

Entah lupa diri atau terlanjur terlena dengan nafsu dunia, aku lupa bahwa masih ada Allah SWT yang lebih berhak diatas ketentuan-ketentuan itu.
Aku lupa,bahwa Allah SWT lah yang menentukan pantas atau tidaknya aku berada di tempat itu, bukan manusia hina seperti diriku ini. Yang dengan seenaknya menilai orang tanpa mau melihat lebih dalam lagi.

Siapalah aku?
Hanya manusia sombong yang terlalu percaya dengan kemampuannya, terlalu yakin akan usahanya.Cuih! Ingin rasanya diri ini ku maki habis-habisan. 

sumber gambar: www.kabarmuslimah.com

Aku tak percaya lagi akan teori percaya diri dan segala macam bentuk hipotesanya.Sebenarnya,aku juga tak bisa menyalahkan teori itu. 
Namun, rasa percaya diri yang melewati ambang batas tentu akan berakibat fatal. 
Rasa percaya diri yang berlebihan akan membuat kita berpotensi memelihara sifat ujub, yaitu sifat yang mengagumi diri sendiri, merasa bahwa kita memiliki kelebihan yang tidak orang lain punya, lupa bahwa kelebihan yang kita miliki sejatinya hanya milik Allah sahaja.

Betapa tidak tau dirinya aku pada masa itu.
Terlalu berlebihan menilai diri sendiri. 
Hey Ayu, memangnya kau siapa?

Aku tau,setiap insan pasti akan berusaha untuk menjadi yang terbaik. 
Namun,apalah sebuah arti usaha bila hanya untuk pengakuan sosial semata? 
Apalah arti usaha bila hanya berupa pelampiasan akan ekspetasi yang belum tercapai? 
Apalah arti usaha bila hanya untuk menjatuhkan orang lain? 
Berlomba-lomba menjadi yang terbaik dengan cara menyakiti orang lain? 

"Hey,bung! Ini bukan ajang kompetisi, juga bukan ajang mencari siapa yang paling hebat, tapi ini adalah ajang untuk mengenal ilmu, mengais ilmu, menemukan ilmu, mempelajari ilmu, dan menerapkan ilmu itu demi kemaslahatan bersama".

Ada kutipan yang mengatakan bahwa,"Majulah,tanpa menyingkirkan orang lain. Naiklah tanpa menjatuhkan orang lain. Dan berbahagialah tanpa menyakiti orang lain." 




Suatu usaha itu tak bisa hanya dilihat sekali. 
Tak bisa bila hanya ditengok ala kadarnya saja. 
Tak bisa bila hanya dinilai dalam kurun waktu 1-2 tahun. 
Usaha itu kita yang merasakan. 
Apakah usaha yang akan kita kerahkan itu harus berpeluh keringat? Atau usaha tersebut lebih memilih menguras otak untuk memikirkan hal-hal diluar logika? 
Apapun usaha yang dilakukan, tetaplah ingat bahwa itu adalah karunia yang Allah berikan padamu Bukan kamu yang mampu, melainkan Allah lah yang memberikan kemampuan tersebut kepadamu.


Palembang,17 Desember 2015.

Share:

Senin, 30 Maret 2015

Malam Juga Punya Cerita

 Aku lebih menyukai gelapnya malam dengan sinar rembulan

dibandingkan jingganya senja .


Sejatinya senja memang indah. Ia mampu membuat takjub

siapapun yang melihatnya. Ia dapat dengan mudah membuat

orang terpana karena keelokannya. Ia juga mampu membuat

para pujangga menuliskan puisi tanpa adanya aksara-aksara

puitis.


Berbeda dengan malam.

Malam memang tidak dapat dilihat. Tidak cukup indah ketika

dipandang. Apalagi bila bintang merajuk. Tentu langit akan

menjadi sepi.


Akan tetapi, sejuknya malam masih dapat dirasakan.

Gelapnya malam mampu membuat jiwa ini untuk merenung.

Kembali bermuhasabah diri.

Memikirkan apa yang telah terjadi selama ini. Semakin baik?

Atau justru semakin tidak terkontrol?

Mengevaluasi sikap dan perilaku terhadap sesama. Baik kah?

Atau semakin buruk?


Memikirkan serta mencari solusi terbaik untuk masalah yang

sedang dihadapi.

Dan tak jarang malam mengingatkan akan kenangan masa lalu.


Ah, lagi-lagi hati tidak mau berdamai jika membicarakan 'masa

lalu'. Bukan karena kenangan indahnya, namun karena jiwa ini

tak cukup kuat untuk kembali mengingat semua kenangan itu.


Gelap bukan berarti kelam.

Begitu juga dengan malam.


Ia memang tidak cukup elok bila dibandingkan dengan senja.

Namun, malam mempunyai makna yang lebih dibanding senja.

Hanya pada saat malam hari orang-orang dapat lebih banyak

memikirkan tentang dirinya, keluarga bahkan orang-orang yang

dikasihinya.


Ya, malam pun juga punya ceritanya sendiri. Dan aku, lebih

menyukai gelapnya malam dibanding jingganya senja.

Share:

Rabu, 04 Maret 2015

Tentang Kamu

Ini tentang kamu, seseorang yang tiba tiba masuk dalam kehidupanku.

Ini tentang kamu, seseorang yang selalu dapat membuat aku tertawa dan membuat hidupku menjadi lebih berarti.

Ini tentang kamu, seseorang yang mau menerima aku satu paket dengan segala kekurangan yang aku punya.

Ini tentang kamu, seseorang yang Tuhan kirimkan padaku, entah sebagai nikmat yang harus aku syukuri atau malah menjadi ujian dalam kehidupanku.

Ini tentang kamu, laki laki asing pertama yang telah berani aku kenalkan pada papa.




Share: