Sabtu, 13 September 2025

Cermin

Aku bangun pagi dengan kepala yang rasanya seperti dipalu. Alarm gawai meraung di samping bantal dan terasa menusuk telinga. Tanganku sigap menekan layar dengan kasar. Sunyi akhirnya terdengar kembali. Tapi bukan sunyi yang menenangkan. Sunyi ini terasa dingin dan menekan seperti dinding kamar kos kecil yang kini turut menatapku tanpa belas kasihan.

Kamar ini sempit, hanya cukup untuk kasur tipis, meja kecil, dan lemari plastik yang sudah retak di pinggir. Bau lembap bercampur bau baju kotor yang menumpuk di sudut. Dari ventilasi sempit terdengar suara motor dan teriakan pedagang sayur. Dinding tipis membuat aku bisa mendengar batuk orang di kamar sebelah. Tidak ada yang benar benar sunyi di kos ini, tapi justru kesunyian dalam kepalaku lebih bising dari apa pun.

Aku duduk di tepi kasur. Punggung pegal dan bahuku terasa kaku. Aku menarik napas panjang, tapi terasa dangkal dan tidak pernah sampai penuh ke paru paru. Kaki menyentuh lantai keramik yang dingin serta agak lengket. Aku merasa jijik tapi tidak punya tenaga untuk membersihkan.

Aku menyeret langkah ke kamar mandi kecil di pojok kamar. Pintu tipis dari triplek berderit keras. Ruangan ini hanya muat untuk satu orang berdiri. Bau sabun basi bercampur bau handuk lembap yang sudah lama tidak kering sempurna. Aku menyalakan keran. Bulir airnya mengalir deras dengan suara keras  yangmemantul di ruang sempit.

Aku membasuh wajah. Dingin, menusuk, tapi tidak memberi rasa segar sedikitpun. Aku ulangi berkali kali seolah bisa mencuci lelah yang menempel di kepala. Tapi tidak kunjung berhasil. Yang ada malah kulitku menjadi basah dan mataku tetap berat.

Aku menggosok wajah keras keras sampai pipi perih. Tetesan air jatuh dari dagu ke wastafel kecil. Aku mengambil sikat gigi. Aku meludah dan berkumur. Air kotor berputar sebentar lalu tersedot paksa ke lubang pembuangan. Bunyi pipa tua terdengar serak seperti tenggorokan orang sakit. Aku pun melirik lantai. Ada noda hitam di pojok kamar ini. Sudah berbulan bulan ia ada di sana tapi tidak pernah hilang meski aku gosok. Noda itu seolah lebih menetap daripada aku sendiri di sini.

Aku pun menyisir rambut. Sisir tersangkut di helai yang kusut. Tarikannya terasa menyakitkan. Rambut rontok pun menempel di tanganku. Ku jatuhkan ke lantai helaian rambut rontok itu. Biarlah berserakan dimana mana. Toh, tiap sudut yang ada juga sudah berantakan adanya. 

Aku pun menatap cermin.
Ku lihat ada sosok manusia yang sama persis dengan diriku.
Sosok itu menatapkiu balik.

Mata sayu dengan lingkar hitam yang makin menebal. Kulitnya terlihat pucat. Bibir pecah pecah. Rambutnya yang tipis terlihat basah dan rontok. Aku pun tersenyum kecil. Sosok itu mengikuti. Aku mengernyit. Ia mengernyit. Gerakannya selalu tepat, tanpa cacat. Ah, kesempurnaan itu membuatku muak.

Aku mendekat. Mataku terlihat merah dengan urat urat kecil yang terlihat jelas. Aku melihat pori pori, garis halus, dan noda di pipi. Semua detail yang seharusnya meyakinkan bahwa ini benar adalah aku. Tapi tidak ada rasa akrab sedikitpun. Semakin lama menatap, semakin asing rasanya. Tanganku menyentuh kaca. Permukaannya dingin, licin. Jari jariku gemetar. Aku menekan lebih keras. Pantulan itu juga menekan. Seolah olah ia ingin menembus ke arahku.

Aku berbisik, “Siapa kamu?”

Suaraku serak. Pantulan bibir ikut bergerak. Rasanya seperti ia menjawab: siapa aku?

Nafasku mulai pendek. Dada terasa penuh dan tercekik. Aku mencoba menarik udara lebih dalam tapi tidak bisa. Aku merasa tubuhku sendiri sedang melawan. Aku mengusap wajah dengan tangan. Kulitku terasa seperti lapisan tipis yang tidak menyatu. Aku membayangkan menariknya dan mengupasnya. Tapi kalau itu hilang, lalu apa yang tersisa? Pikiran itu membuat perutku menjadi mual.

Aku menatap lagi. Sekejap pandanganku menjadi kabur. Terlihat bayangan berganda dengan dua wajah menumpuk dan tidak pas. Aku berkedip cepat lalu dua wajah itu terlihat menyatu kembali. Tapi rasa ngeri tidak kunjung pergi. Seolah olah diriku memang bukan satu orang saja.

Aku meremas tepi wastafel kecil. Tanganku licin dan hampir terpeleset. Lututku gemetar seakan tidak kuat lagi menopang. Keringat dingin keluar melalui pelipis dan menetes ke dagu. Bau tubuhku sendiri menyengat: asin, lembap, dan bercampur sabun basi. Bau itu menusuk dan membuatku semakin ingin muntah.

Aku mendekat lagi. Nafasku mengembun di kaca. Wajah terlihat di balik embun samar. Saat samar, aku merasa lebih nyaman. Saat jelas, aku merasa ingin lari. Aku menahan mata terbuka. Aku ingin tahu siapa yang lebih dulu akan mengedip. Aku atau dia. Mataku panas dan berair. Aku membuka mulut, ingin berteriak tapi tidak ada suara. 

Yang tersisa hanya beberapa pertanyaan yang bersarang di kepala:
Kalau semua ini adalah tidak nyata, lalu siapa aku sebenarnya?
Kalau semua ini adalah topeng, siapa wajah yang bersemayam di bawahnya?
Kalau pantulan ini pecah, apa yang akan tersisa?

Tapi tetap tidak ada jawaban.

Aku masih berdiri di kamar mandi kos yang sempit, bau, dan pengap. Waktu dan kehidupan yang ada di luar terus berjalan. Tapi di sini, aku merasa stuck dan tidak bisa kemana mana.

Sosok di cermin menatap balik.

Aku tidak tahu siapa dia.

Aku tidak tahu siapa aku.

Share:

0 Comments: