"Kok jadi dejavu ya?"
"Rasanya seperti aku sudah pernah mengalami masalah serupa. Tapi kenapa sekarang terulang lagi?"
Rasanya dejavu. Seperti pernah ada di keadaan ini sebelumnya. Masalah yang aku hadapi sama, trigger yang aku temui sama, hanya dengan wajah, cerita, dan waktu yang berbeda. Aku pikir dengan aku pergi jauh dan merantau, sudah cukup untuk membuatku selesai dengan semua yang pernah terjadi di masa lalu. Aku pikir dengan mengubah nama panggilanku, aku sudah bisa membuka lembaran baru. Tapi ternyata, aku hanya mengulangi pola kejadian yang sama seperti sebelumnya. Apakah ini yang disebut life loop? Sebuah lingkaran tidak kasat mata yang selalu menarik diriku untuk kembali pada pelajaran hidup yang belum selesai.
***
Aku sering merasa hidupku seperti kaset yang diputar ulang karena selalu mengulang pola kejadian yang sama. Beda dari latar kejadian dan tokoh, tetapi konflik dan trigger yang aku hadapi sama. Jujur saja, ada rasa marah pada diri sendiri ketika life loop ini kerap terjadi.
“Bukankah aku sudah belajar?"
"Bukankah aku sudah berjanji tidak akan jatuh pada lubang yang sama?”
Tapi ternyata aku malah kembali lagi ke lingkaran yang sama, berhadapan dengan situasi yang serupa, membuat kesalahan yang sama, dan menelan kecewa yang sama. Ah, ingin rasanya ku caci maki diri ini yang bodoh karena kerap mengulangi pola yang salah. Aku pikir aku sudah banyak belajar, sudah melepaskan beban masa lalu, dan sudah berdamai dengan semua itu.
Nyatanya belum sama sekali. Aku belum bisa menerima semuanya bahkan masih membawa semua beban itu di pundakku
Ibarat berjalan di atas treadmill, aku hanya jalan di tempat. Aku kira aku sudah berjalan jauh, ternyata aku hanya ada di lingkaran yang sama. Aku tidak pernah benar benar bergerak maju. Awalnya, aku pikir dengan mengikuti kelas, belajar, dan konseling ke psikolog, sudah cukup untuk membuatku pulih dan berdamai. Tapi ternyata semua usaha itu tidak cukup.
Selama ini aku ternyata hanya sibuk mencari jalan untuk menghindari rasa sakit yang belum sepenuhnya kupahami. Dalam proses ini, aku sadar bahwa diriku sendiri yang menipu: merasa sudah pulih hanya karena “sudah melakukan sesuatu.”
Sama seperti yang ditunjukkan dari penelitian K.M. Bell (2025) tentang trigger warning, kadang kita merasa siap menghadapi sesuatu secara teori, mengikuti kelas, membaca buku tentang self healing, penerimaan diri, dan pemulihan trauma, tapi saat situasi nyata datang, respons emosional itu tetap muncul. Selama luka batin belum selesai diproses, kita cenderung menjadi lebih reaktif. Trigger itu, apa pun bentuknya, bisa memicu rasa sakit atau kecemasan yang selama ini kita sembunyikan. Dan itu wajar karena respons emosi yang keluar bukanlah pertanda kegagalan, melainkan sinyal bahwa ada yang belum tuntas di dalam diri kita.
Konseling ke psikolog itu memang penting dan menurutku itu adalah keharusan. Tapi itu belum cukup kalau kita sendiri belum siap membuka luka lama dan unfinished business yang selama ini kita sembunyikan. Psikolog bukan penyihir yang bisa langsung menyembuhkan, mereka hanya teman yang punya kapabilitas untuk membimbing kita melihat, merasakan, dan memahami apa yang selama ini kita hindari. Proses pemulihan itu tetap di tangan kita sendiri. Kita yang memegang kendali untuk berani menghadapi rasa sakit, mengakui perasaan, dan perlahan menyelesaikan apa saja yang belum tuntas.
Aku sadar bahwa aku tidak bergerak ke mana mana. Aku hanya berjalan di tempat sambil membawa beban yang sama, luka yang sama, dan cerita lama yang tidak pernah benar benar aku coba untuk akhiri.
Lalu, muncul pertanyaan dalam benakku. Mengapa pola ini tidak berhenti dan malah terus berulang?
Pola yang berulang sebenarnya bukanlah suatu kebetulan. Pola ini kembali terjadi bukan karena dunia yang terlalu jahat atau kejam. Juga bukan karena aku yang tidak cukup baik. Pola ini kembali terjadi karena ada bagian dalam diriku yang belum selesai diproses, entah itu berupa perasaan, luka lama, atau trauma masa lalu. Tumpukan dari unfinished business di masa lalu yang mulai meronta dan meminta untuk segera diselesaikan. Luka luka lama yang belum sempat pulih dan hanya bisa aku bungkus dengan kata kata indah tentang penerimaan. Luka yang aku pikir sudah mengering dan hilang, ternyata hanya bersembunyi di balik dinding pertahanan yang tinggi.
Dan ketika Tuhan kembali menguji, ternyata aku kembali masuk ke dalam lingkaran yang sama. Lebih tepatnya masuk ke dalam lingkaran setan. Menghadapi masalah dan trigger yang serupa dengan orang berbeda. Rasanya seperti Tuhan berkata kepadaku,
“Kamu belum lulus ujian dalam ujian ini. Jadi kamu harus mengulanginya sampai kamu benar benar paham dan belajar."
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Julian Frazier, PhD, peristiwa ini dikenal sebagai repetition compulsion, di mana kita sebagai individu secara tidak sadar akan mengulangi pengalaman traumatis masa lalu sebagai bentuk upaya untuk menguasai atau memahami kenapa hal itu bisa terjadi, meskipun mungkin berakibat merugikan. Frazier menjelaskan bahwa pikiran kita cenderung mengkategorikan pengalaman buruk sebagai masalah dan pikiran kita tidak suka memiliki masalah yang belum terselesaikan. Pola berulang ini muncul karena pikiran kita ingin menyelesaikan masalah yang belum selesai. Namun, tanpa kita sadari kita seringkali menciptakan situasi yang mirip dengan trauma masa lalu dan berharap kali ini hasilnya akan berbeda. Padahal, tanpa adanya pemahaman dan pemrosesan yang tepat, kita justru terjebak dalam lingkaran tersebut.
Seperti sekolah yang menuntut remedial saat gagal ujian, demikian juga hidup. Life loop adalah bentuk remedial dalam kehidupan. Life loop adalah panggilan untuk diri agar segera melakukan refleksi. Selama aku belum selesai dengan diri sendiri, pola kejadian itu akan tetap berulang dengan wajah lain, cerita lain, namun rasa sakit dan pola trigger yang sama. Satu satunya jalan keluar dari lingkaran ini adalah berani. Berani menghadapi, berani memahami emosi, dan berani mengakui reaksi reaksi yang muncul sampai unfinished business dan semua luka itu sudah selesai diproses.
Selama aku belum selesai dengan diriku sendiri, pola kejadian itu akan terus kembali. Dengan wajah berbeda, dengan cerita yang sedikit berubah, tapi rasa sakitnya tetap sama. Aku harus berani menghadapinya, memahami apa perasaan yang keluar, dan serta reaksi dari perasaan itu, baru aku bisa benar benar keluar dari lingkaran setan itu.
Sekarang aku sadar kalau pertanyaannya bukan lagi tentang kenapa hal ini bisa terjadi kembali. Melainkan tentang Tuhan ingin aku belajar apa dari semua kejadian berulang ini?
***
Daalam satu sesi konseling, ada pertanyaan dari psikolog yang sampai sekarang masih terngiang di kepalaku,
“Oh, jadi kamu tidak merasa nyaman ya? Boleh ceritakan ke aku bagaimana kamu memaknai rasa tidak nyaman itu? Bagaimana kamu menggambarkan rasa tidak nyaman itu?”
Aku terdiam sejenak dan mencoba menjawab.
“Aku juga bingung, kak. Aku belum siap untuk ngobrol lebih dalam tentang hal ini.”
Pertanyaan itu terus bergema di kepalaku. Aku mulai sadar bahwa rasa tidak nyaman yang selalu kusembunyikan bukan sekadar gangguan kecil. Melainkan sebuah sinyal alam bawah sadar yang menginformasikan bahwa ada bagian dalam diriku yang belum selesai kupahami dan belum berani kuhadapi.
Perlahan aku belajar bahwa pulih adalah soal keberanian. Keberanian untuk menghadapi luka lama yang aku simpan rapat, mengakui rasa sakit yang selalu aku tutupi, dan merasakan hal hal yang selama ini aku hindari.
Kuncinya hanya satu: hadapi, bukan lari.
Sulit, tapi aku percaya kamu bisa.
0 Comments:
Posting Komentar