Sejak awal aku diperkenalkan pada-Mu, kata pertama yang melekat di kepalaku bukanlah cinta, melainkan takut. Aku mendengar ancaman-Mu lebih dulu sebelum aku sempat mengenal pelukan-Mu. Neraka disuarakan lebih keras daripada surga. Murka-Mu digambarkan lebih sering daripada kasih-Mu. Sejak itu bayangan-Mu selalu datang bersama cambuk, bukan tangan yang merangkul.
Setiap kali aku berdoa, tubuhku terasa seperti tahanan yang melapor. Sujudku kaku, hatiku kosong, dan lidahku menyebut nama-Mu dengan gemetar. Aku menunduk bukan karena rindu, tapi karena takut pandangan-Mu akan menghukumku. Aku ingin berkata bahwa aku datang pada-Mu dengan tulus, tapi kenyataannya aku mendekat hanya karena aku takut.
Aku ingin mencintai-Mu karena ingin. Aku ingin hatiku mencari-Mu karena kerinduan yang abadi, bukan karena dikejar ancaman. Tapi keinginanku selalu tenggelam oleh suara di kepalaku yang berbisik: jangan lengah, jangan lalai, ingat murka Tuhan, ingat siksa neraka.
Aku ingin pulang kepada-Mu, tapi aku tidak pernah benar benar merasa pulang. Setiap kali aku mengetuk, pintu-Mu rasanya dingin. Setiap kali aku melangkah, aku merasa seperti penyusup di rumah orang lain. Aku ingin percaya bahwa Engkau adalah rumah tempatku kembali, tapi aku lebih sering merasa Engkau adalah penjara yang mengurungku.
Tuhan, aku lelah hidup dengan bayangan-Mu yang hanya menakutkan. Aku muak jika cinta pada-Mu hanya berarti ketundukan yang dipaksa. Jika benar begitu adanya, maka itu bukan cinta, melainkan tawanan. Dan aku sudah terlalu lama menjadi seorang tawanan.
Aku ingin tau bagaimana rasanya mencintai-Mu tanpa takut. Bagaimana rasanya menyebut nama-Mu dengan lega bukan dengan gemetar. Bagaimana rasanya bersujud dan merasa hangat, bukan karena merasa sedang dihukum. Bagaimana rasanya pulang dan benar benar diterima, bukan ditimbang, bukan dinilai, apalagi diancam.
Tapi aku tidak pernah tau. Aku hanya mengenal rasa gentar yang menempel seperti noda di darah. Aku hanya mengenal doa yang lahir dari rasa takut, bukan dari cinta. Aku hanya tau Engkau sebagai pengawas, bukan sahabat.
Mungkin aku memang tidak pernah benar benar mencintai-Mu. Mungkin yang kucintai hanya keselamatan dari api-Mu. Mungkin yang kucintai hanyalah bayangan surga yang dijanjikan. Dan jika itu benar, berarti aku tidak pernah mengenal-Mu sama sekali.
Aku ingin mencintai-Mu karena ingin. Tapi yang kurasakan sekarang hanya satu: rasa takut akan dihukum, bukan cinta.
Aku ingin pulang kepada-Mu. Tapi aku tidak pernah benar benar merasa pulang. Dan sampai hari ini, aku menyimpan pertanyaan yang menggantung di kepalaku:
Bagaimana rasanya mencintai-Mu karena memang ingin, bukan karena takut?
1 Comments:
gak salah salah juga, takutnya bukan untuk menjauh, takutnya bukan seperti takut terhadap ular. Jadi definisi "Takut" macem macem.
Posting Komentar