Kita selalu siap untuk bertemu dengan orang orang baru, tapi tidak dengan perpisahannya.
Kini, kita telah berada di penghujung tahun 2018 dan sebentar lagi tahun ini akan berakhir. Banyak momen berharga yang telah dilalui selama satu tahun belakang ini. Bertemu dengan orang orang baru dan juga mendapat pengalaman yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Semua terasa begitu menyenangkan meski banyak rintangan dan air mata yang menghiasi perjalanan di tahun ini. Banyak pelajaran yang dapat dipetik serta hikmah kehidupan yang melekat dalam sanubari.
Kita acapkali lupa bahwa pertemuan hadir satu paket bersama perpisahan. Waktu hadirnya saja yang berbeda.
Akhir tahun memang acapkali akrab dengan suatu momen yang dikenal dengan nama "perpisahan". Entah berpisah dengan teman, sahabat, atau orang orang terkasih. Suasana isak tangis, sedih, bahagia mewarnai haru birunya perpisahan yang terjadi. Suara sesenggukan yang terdengar menandakan bahwa tidak ada orang yang siap akan hadirnya perpisahan.
Tahun ini, saya harus menghadapi sebuah perpisahan bersama teman teman satu organisasi saya. Organisasi ini telah menaungi saya selama satu tahun berada di kampus tercinta. Sekretariatnya bahkan sudah saya anggap seperti rumah saya sendiri. Seringkali ketika jam kosong atau setelah melakukan praktikkum di laboratorum saya menyempatkan diri untuk mampir sejenak sekadar melepas rasa rindu bersama teman teman. Ketika menjelang siang hari, biasanya saya makan siang bersama mereka di kantin. Meski terkadang suasana sekretariat terasa 'panas' karena sedang menyiapkan kegiatan atau proker, tetap saja sekretariat merupakan tempat kembali terbaik yang pernah saya temui di kampus.
Dan kini, sudah saatnya demisioner dan berpisah dengan mereka. Ada rasa lega menyelimuti karena amanah yang diberikan telah selesai. Namun, dalam hati sebenarnya saya sedih. Ya, saya sedih karena harus berpisah dengan mereka dan juga tempat yang sudah saya anggap seperti rumah saya sendiri. Tapi, walau bagaimanapun saya harus siap dengan konsekuensi adanya perpisahan setelah terjadinya pertemuan.
Saya juga pernah mengalami momen perpisahan yang membuat saya ingin menangis ketika menuliskannya. Ya, adakah yang lebih menyedihkan dibanding berpisah dengan orang yang bahkan tak sempat berbincang hangat denganmu? Itulah saya ketika berpisah dengan almarhumah adik perempuan saya. Beliau meninggal saat masih berada dalam kandungan mama. Katanya sih disebabkan karena mama terlalu kelelahan hingga berdampak pada janin yang sedang dikandungnya. Beliau lahir pada saat saya berumur empat tahun dan belum mengerti apa apa. Bahkan saya tidak mengingat sedikit pun kejadian pada saat itu. Beruntungnya, ada foto yang dapat saya buka untuk membantu mengingat kembali momen tersebut.
Sedih? Iya. Rindu? Banget. Saya katakan saya tidak siap berpisah dengan almarhumah adik saya. Andai saya diberi kesempatan, saya ingin kembali ke masa lalu dan menyuruh mama untuk tidak memforsir tenaga terlalu banyak dalam bekerja agar adik saya dapat lahir dengan sempurna dan menjadi teman saya disini.
Well, sebenarnya perpisahan tidaklah semenyakitkan seperti apa yang saya katakan. Perpisahan tidak akan terasa menyesakkan dada apabila pada saat setelah itu, keadaan menjadi normal seperti biasa. Tidak ada rasa benci, marah, kesal dan perasaan negatif lainnya yang kita rasakan. Semua dalam kondisi baik baik saja.
Bagi saya, perpisahan yang paling menyakitkan adalah ketika kita dan orang yang kita sayangi (bisa teman atau keluarga) tidak lagi berada pada fase dunia yang sama. Dengan kata lain, orang tersebut meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Pada saat itu, yang dapat kita lakukan hanyalah mengenang foto dan kenangan kenangan indah lain bersamanya. Tanpa pernah bisa bertemu kembali di dunia yang sejatinya memang dunia hanyalah tempat yang untuk ditinggalkan sebelum menuju ke kehidupan selanjutnya.